“Sahabat selalu ada disaat kita membutuhkannya, menemani kita disaat kita kesepian, ikut tersenyum disaat kita bahagia, bahkan rela mengalah padahal hati kecilnya menangis…”
***
Bel istirahat akan berakhir berapa menit
lagi. Wina harus segera membawa buku tugas teman-temannya ke ruang guru sebelum
bel berbunyi. Jabatan wakil ketua kelas membuatnya sibuk seperti ini. Gubrak….
Buku-buku yang dibawa Wina jatuh semua. Orang yang menabrak entah lari kemana.
Jangankan menolongnya, meminta maaf pun tidak.
“Sial! Lari nggak pakek mata apa ya…” rutuk Wina. Dengan wajah
masam ia mulai jongkok untuk merapikan buku-buku yang terjatuh. Belum selesai
Wina merapikan terdengar langkah kaki yang datang menghampirinya.
“Kasian banget. Bukunya jatuh semua ya?” cemoh seorang cowok dengan
senyum sinis. Sejenak Wina berhenti merapikan buku-buku, ia mencoba melihat
orang yang berani mencemohnya. Ternyata dia lagi. Cowok berpostur tinggi dengan
rambut yang selalu berantakan. Sumpah! Wina benci banget sama cowok ini. Seumur
hidup Wina nggak bakal bersikap baik sama cowok yang ada di depannya ini. Lalu
Wina mulai melanjutkan merapikan buku tanpa menjawab pertanyaan cowok tersebut.
Cowok tinggi itu sepintas mengernyitkan
alisnya. Dan kembali ia tercenung karena cewek di depannya tidak menanggapi.
Biasanya kalau Wina terpancing dengan omongannya, perang mulut pun akan terjadi
dan takkan selesai sebelum seseorang datang melerai.
Teeeett… Bel tanda berakhirnya jam istirahat terdengar nyaring.
“Maksud hati pengen bantu temen gue yang jelek ini. Tapi apa daya udah keburu
bel. Jadi sori nggak bisa bantu.” ucap cowok tersebut sambil menekan kata jelek
di pertengahan kalimat.
Cowok tersebut masih menunggu reaksi cewek
yang ada di depannya. Tapi yang ditunggu tidak membalas dengan cemohan atau pun
ejekan. “Lo berubah.” gumam cowok tersebut lalu berbalik bersiap masuk ke
kelasnya. Begitu cowok itu membalikkan badannya, Wina yang sudah selesai
membereskankan buku mulai memasang ancang-ancang. Dengan semangat 45 Wina mulai
mengayunkan kaki kanannya kearah kaki kiri cowok tersebut dengan keras.
“Adooooww” pekik cowok tersebut sambil menggerang kesakitan.
“Makan tuh sakit!!” ejek Wina sambil berlari membawa buku-buku yang
tadi sempat berserakan. Bisa dibayangkan gimana sakitnya tuh kaki. Secara Wina
pakek kekuatan yang super duper keras. Senyum kemenangan menghiasi di wajah
cewek tinggi kurus tersebut.
***
“Wina….”
Wina menoleh untuk melihat siapa yang
memanggilnya. Ternyata dari kejauhan Amel teman baiknya sejak SMP sedang
berlari kearahnya. Dengan santai Wina membalikkan badannya berjalan mencari
motor matic kesayangannya. Ia sendiri lupa dimana menaruh motornya. Wina emang
paling payah sama yang namanya mengingat sesuatu. Masih celingak-celinguk
mencari motor, Amel malah menjitak kepalanya dari belakang.
“Woe non, budeg ya? Nggak denger teriakan gue. Temen macem apaan
yang nggak nyaut sapaan temennya sendiri.” ucap Amel dengan bibir monyong. Ciri
khas cewek putih tersebut kalo lagi ngambek.
“Sori deh Mel. Gue lagi bad mood, pengen cepet pulang.”
“Bad mood? Jelas-jelas lo tadi bikin gempar satu kelas. Udah
nendang kaki cowok ampe tuh cowok permisi pulang, nggak minta maaf lagi.” jelas
Amel panjang lebar.
“Hah? Sampe segitunya? Kan gue cuma nendang kakinya, masak segitu
parahnya?” Wina benar-benar nggak nyangka. Masa sih keras banget? Tuh cowok
ternyata bener-bener lembek, pikirnya dalam hati.
“Nendang sih nendang tapi lo pakek tendangan super duper. Kasian
Alex lho.”
“Enak aja. Orang dia yang mulai duluan.” bantah Wina membela diri.
Sejenak Amel terdiam, lalu berlahan
bibirnya tersenyum tipis. “Kenapa sih kalian berdua selalu berantem? Masalahnya
masih yang itu? Itu kan SMP. Dulu banget. ” ujar Amel polos, tanpa bermaksud
mengingatkan kejadian yang lalu.
“Lagi pula gue udah bisa nerima kalo Alex nggak suka sama
gue.”
“Tau ah gelap!”
Bel pulang berbunyi nyaring bertanda jam
pelajaran telah usai. Cuaca yang sedemikian panas tak menyurutkan niat para
siswa SMA Harapan untuk bergegas pulang ke rumah. Wina sendiri sudah
membereskan buku-bukunya. Sedangkan Amel masih berkutat pada buku catatanya
lalu sesekali menoleh ke papan tulis.
“Makanya kalo nulis jangan kayak kura-kura.”
Dengan gemas Wina menjitak kepala Amel.
“Duluan ya, Mel. Disuruh nyokap pulang cepet nih!”
Amel hanya mendengus lalu kembali sibuk dengan catatanya.
Saat Wina membuka pintu kelas, seseorang
ternyata juga membuka pintu kelasnya dari luar. “Eh, sori..” ucap Wina kikuk.
Tapi begitu sadar siapa orang yang ada di depannya, Wina langsung ngasi tampang
jutek kepada orang itu.
“Ngapaen lo kesini? Masih sakit kakinya? Apa cuma dilebih-lebihin
biar kemaren pulang cepet? Hah? Jadi cowok kok banci baget!!!”
Jujur Alex udah bosen kayak gini terus sama
Wina. Dia pengen hubungannya dengan Wina bisa kembali seperti dulu.
“Nggak usah cari gara-gara deh. Gue cuma mau cari Amel.” ucap Alex
dingin sambil celingak celinguk mencari Amel. “Hey Mel!” ucap Alex riang begitu
orang yang dicarinya nongol.
“Hey juga. Jadi nih sekarang?” Amel sejenak melirik Wina. Lalu
dilihatnya Alex mengangguk bertanda mengiyakan. “Win, kita duluan ya,” ujar
Amel singkat.
Wina hanya benggong lalu dengan cepat
mengangguk. Dipandangi Amel dan Alex yang kian jauh. Entah kenapa, perasaanya
jadi aneh setiap melihat mereka bersama. Seperti ada yang sakit di suatu organ
tubuhnya. Biasanya Alex selalu mencari masalah dengannya. Namun kini berbeda.
Alex tidak menggodanya dengan cemohan atau ejekan khasnya. Alex juga tidak
menatapnya saat ia bicara. Seperti ada yang hilang. Seperti ada yang pergi dari
dirinya.
Byuuurr.. Fanta rasa stowberry menggalir
deras dari rambut Wina hingga menetes ke kemeja putihnya. Wina nggak bisa
melawan. Ia kini ada di WC perempuan. Apalagi ini jam terakhir. Nggak ada yang
akan bisa menolongnya sampai bel pulang berbunyi.
“Maksud lo apa?” bentak Wina menantang. Ia nggak diterima di guyur
kayak gini.
“Belum kapok di guyur kayak gini?” balas cewek tersebut sambil
menjambak rambut Wina. “Tha, mana fanta jeruk yang tadi?” ucap cewek itu lagi,
tangan kanannya masih menjambak rambut Wina. Thata langsung memberi satu botol
fanta jeruk yang sudah terbuka.
“Lo mau gue siram lagi?” tanya cewek itu lagi.
Halo??!! Nggak usah ditanya pun, orang bego juga tau. Mana ada
orang yang secara sukarela mau berbasah ria dengan fanta stroberry atau pun
jeruk? Teriak Wina dalam hati. Ia tau kalau cewek di depannya ini bernama
Linda. Linda terkenal sesaentro sekolah karena keganasannya dalam hal melabrak
orang. Yeah, dari pada ngelawan terus sekarat masuk rumah sakit, mending Wina
diem aja. Ia juga tau kalo Linda satu kelas dengan Alex. Wait, wait.. Alex???
Jangan-jangan dia biang keladinya. Awas lo Lex, sampe gue tau lo biang
keroknya. Gue bakal ngamuk entar di kelas lo!
“Gue rasa, gue nggak ada masalah ama lo.” teriak Wina sambil
mendorong Linda dengan sadisnya. Wina benar-benar nggak tahan sama perlakuan
mereka. Bodo amat gue masuk rumah sakit. Yang jelas ni nenek lampir perlu
dikasi pelajaran.
Kedua teman Linda, Thata dan Mayang dengan sigap mencoba menahan
Wina. Tapi Wina malah memberontak. “Buruan Lin, ntar kita ketahuan.” kata
Mayang si cewek sawo mateng. Selang beberapa detik, Linda kembali mengguyur
Wina dengan fanta jeruk.
“Jauhin Alex. Gue tau lo berdua temenan dari SMP! Dulu lo pernah
nolak Alex. Tapi kenapa lo sekarang nggak mau ngelepas Alex?!!”
“Maksud lo?” ledek Wina sinis. “Gue nggak kenal kalian semua. Asal
lo tau gue nggak ada apa-apa ama Alex. Lo nggak liat kerjaan gue ama tuh cowok
sinting cuma berantem?”
Plaakk.. Tamparan mulus mendarat di pipi
Wina. “Tapi lo seneng kan?” teriak Linda tepat disebelah kuping Wina. Kesabaran
Wina akhirnya sampai di level terbawah.
Buuugg! Tonjokan Wina mengenai tepat di
hidung Linda. Linda yang marah makin meledak. Perang dunia pun tak terelakan.
Tiga banding satu. Jelas Wina kalah. Tak perlu lama, Wina sudah jatuh terduduk
lemas. Rambutnya sudah basah dan sakit karena dijambak, pjpinya sakit kena
tamparan. Kepalanya terasa pening.
“Beraninya cuma keroyokan!” bentak seorang cowok dengan tegas.
Serempak trio geng labrak menoleh untuk melihat orang itu, Wina juga ingin,
tapi tertutup oleh Linda. Dari suaranya Wina sudah tau. Tapi Ia nggak tau bener
apa salah.
“Pergi lo semua. Sebelum gue laporin.” ujar cowok itu singkat.
Samar-samar Wina melihat geng labrak pergi dengan buru-buru. Lalu cowok tadi
menghampiri Wina dan membantunya untuk berdiri. “Lo nggak apa-apa kan, Win?”
“Nggak apa-apa dari hongkong!?”
Hujan rintik-rintik membasahi bumi. Wina
dan Alex berada di ruang UKS. Wina membaringkan diri tempat tidur yang tersedia
di UKS. Alex memegangi sapu tangan dingin yang diletakkan di sekitar pipi Wina.
Wina lemas luar biasa. Kalau dia masih punya tenaga, dia nggak bakalan mau
tangan Alex nyentuh pipinya sendiri. Tapi karena terpaksa. Mau gimana lagi.
“Ntar lo pulang gimana?” tanya Alex polos.
“Nggak gimana-mana. Pulang ya pulang.” jawab Wina jutek. Rasanya
Wina makin benci sama yang namanya Alex. Gara-gara Alex dirinya dilabrak
hidup-hidup. Tapi kalau Alex nggak datang. Mungkin dia bakal pingsan duluan
sebelum ditemukan.
“Tadi itu cewek lo ya?” ucap Wina dengan wajah jengkel.
“Nggak.”
“Trus kok dia malah ngelabrak gue? Isi nyuruh jauhin lo segala.
Emang dia siapa? “ rutuk Wina kesal seribu kesal. Ups! Kok gue ngomong kayak
gue nggak mau jauh-jauh ama Alex. Aduuuhh…
Alex sejenak tersenyum. “Dia tuh cewek yang gue tolak. Jadi dia tau
semuanya tentang gue dan termasuk tentang lo” ucap Alex sambil menunjuk Wina.
Wina diam. Dia nggak tau harus ngapain setelah Alex menunjuknya.
Padahal cuma nunjuk. “Ntar bisa pulang sendiri kan?” tanya Alex.
“Bisalah. Emang lo mau nganter gue pulang?”
“Emang lo kira gue udah lupa sama rumah lo? Jangan kira lo nolak
gue terus gue depresi terus lupaen segala sesuatu tentang diri lo. Gue masih
paham bener tentang diri lo. Malah perasaan gue masi sama kayak dulu.” jelas
Alex sejelas-selasnya. Alex pikir sekarang udah saatnya ngungkapin
unek-uneknya.
“Lo ngomong kayak gitu lagi, gue tonjok jidat lo!” ancam Wina. Nih
orang emang sinting. Gue baru kena musibah yang bikin kepala puyeng, malah
dikasi obrolan yang makin puyeng.
“Perasaan gue masih kayak dulu, belum berubah sedikit pun. Asal lo
tau, gue selalu cari gara-gara ama lo itu ada maksudnya. Gue nggak pengen kita
musuhan, diem-dieman, atau apalah. Pas lo nolak gue, gue nggak terima. Tapi
seiring berjalannya waktu, kita dapet sekolah yang sama. Gue coba buat nerima.
Tapi nggak tau kenapa lo malah diemin gue. Akhirnya gue kesel, dan tanpa sadar
gue malah ngajakin lo berantem.” Sejenak Alex menanrik nafas. “Lo mau nggak
jadi pacar gue? Apapun jawabannya gue terima.”
Hening sejenak diantara mereka berdua. “Kayaknya gue pulang duluan
deh.” Ucap Wina sambil buru-buru mengambil tasnya. Inilah kebiasaan Wina,
selalu mengelak selalu menghindar pada realita. Ia bener-bener nggak tau harus
ngapaen. Dulu ia nolak Alex karena Amel juga suka Alex. Tapi sekarang?
“Besok gue udah nggak sekolah disini. Gue pindah sekolah.” Alex
berbicara tepat saat Wina sudah berada di ambang pintu UKS.
Wina diam tak sanggup berkata-kata. Dilangkahkan kakinya pergi
meninggalkan UKS. Meninggalkan Alex yang termenung sendiri.
Kelas masih sepi. Hanya ada beberapa murid
yang baru datang. Diliriknya bangku sebelah. Amel belum datang. Wina sendiri
tumben datang pagi. Biasanya ia datang 5 menit sebelum bel, disaat kelas sudah
padat akan penduduk. Semalam Wina nggak bisa tidur. Entah kenapa bayangan Alex
selalu terbesit di benaknya. Apa benar Alex pindah sekolah? Kenapa harus
pindah? Peduli amat Alex mau pindah apa nggak, batin Wina. “Argggg… Kenapa sih
gue mikir dia terus?”
“Mikirin Alex maksud lo?” ucap Amel tiba-tiba udah ada disamping
Wina. “Nih hadiah dari pangeran lo.”
Dilihatnya Amel mengeluarkan kotak biru
berukuran sedang. Karena penasaran dengan cepat Wina membuka kotak tersebut.
Isinya bingkai foto bermotif rainbow dengan foto Wina dan Alex saat mengikuti
MOS SMP didalamnya. Terdapat sebuah kertas. Dengan segera dibacanya surat
tersebut.
Dear wina,
Inget ga pertama kali kita kenalan? Pas itu
lo nangis gara-gara di hukum ama osis. Dalam hati gue ketawa, kok ada sih cewek
cengeng kayak gini? Hehe.. kidding. Lo dulu pernah bilang pengen liat pelangi
tapi ga pernah kesampaian. Semoga lo seneng sama pelangi yang ada di bingkai
foto. Mungkin gue ga bisa nunjukin pelangi saat ini coz gue harus ikut ortu
yang pindah tugas. Tapi suatu hari nanti gue bakal nunjukin ke lo gimana indahnya
pelangi. Tunggu gue dua tahun lagi. Saat waktu itu tiba, ga ada alasan buat lo
ga mau jadi pacar gue.
“Kenapa lo nggak mau nerima dia? Gue tau lo suka Alex tapi lo nggak
mau nyakitin gue.” sejenak Amel tersenyum. “Percaya deh, sekarang gue udah
nggak ada rasa sama Alex. Dia cuma temen kecil gue dan nggak akan lebih.”
“Thanks Mel. Lo emang sahabat terbaik gue.” ucap Wina tulus. “Tapi
gue tetap pada prinsip gue.”
Amel terlihat menerawang. “Jujur, waktu gue tau Alex suka sama lo
dan cuma nganggep gue sebagai temen kecilnya. Gue pengen teriak sama semua
orang, kenapa dunia nggak adil sama gue. Tapi seiring berjalannya waktu gue
sadar kalo nggak semua yang kita inginkan adalah yang terbaik untuk kita.” senyum kembali menghiasi
wajah mungilnya. “Dan lo harus janji sama gue kalo lo bakal jujur tentang
persaan lo sama Alex. Janji?” lanjut Amel sambil mengangkat jari kelingkingnya.
Ingin rasanya Wina menolak. Amel terlalu
baik baginya. Dia sendiri tau sampai saat ini Amel belum sepenuhnya melupakan
Alex. Tapi Wina juga tak ingin mengecewakan Amel. Berlahan diangkatnya jari
kelingkingnya.
“Janji..” gumam Wina lirih.
#From my note in facebook




0 komentar:
Posting Komentar